Pertemuan Subuh
Pagi dimana
liburan sekolah menjadi ajang malas-malasan, seolah bukan hal yang baru bagi
para pelajar terutama oleh Rara, ya Rara namanya. Dia adalah seorang cewe
cantik berjilbab yang suka banget sama yang namanya fotografi. Kemana-mana
nentengin kamera terus. Mulai dari makan, sebelum dia makan pasti dijepret dulu
lalu upload ke Instagram. Benar-benar anak muda. “Mam, aku ke gunung dulu ya?” teriak Rara dari depan rumah sambil
memastikan tripodnya sudah prima. “Gunung mana?” tanya Mamanya. “Gunung depan itu
mam, bentar aja.” Ijin Rara. “Yaudah , hati-hati . jangan lupa bawa air putih.”
Pesan mamanya yang sesubuh itu sudah memasak didapur. “Oke mam, siap.” Sambil
menalikan sepatu ketsnya.
Rara tinggal
disuatu kota kecil yang damai. Disana-sini masih banyak sawah, hutan-hutan, dan
pemandangan eksotis lainnya. Gunung-gunung pun terlihat melingkari kotanya.
Sejuk dan tak penuh polusi seperti dikota-kota besar. Liburanpun
dimanfaatkannya untuk mengambil scene terbaik dari desa nya itu.
“Yey, bentar
lagi sampai puncak sebelum matahari benar-benar terbit. Ayo Hammasah Rara!”
Rara menyemangati dirinya sendiri . Setelah beberapa menit kemudian Rara sudah
sampai ditempat yang diinginkan. Jam tangannya menunjukkan pukul 5.00 wib hanya
setengah jam dari rumahnya. Dan 15 menit menuju puncak. ‘Krskkk...Krsskk...’
bunyi aneh itu terdengar oleh telinga Rara. “Waduh gawat nihmkalo ada harimau.”
Rara harap-harap cemas. Ini terlalu pagi dan masih berkabut disana-sini. Rara
mengambil senter di kantong celana oblongnya. Mencari-cari sumber suara itu.
Rara berjalan mundur memastikan tidak ada apa-apa didepannya sesekali menengok
ke belakang. ‘Bruk..!’ punggung Rara
menyentuh punggung seseorang. Sontak Rara kaget “Waaaaaaaaa.....” teriakan Rara dan suara seorang
laki-laki itu terdengar bersamaan dan seirama. “Kamu siapa?” Rara mengarahkan
senternya ke arah laki-laki bertubuh lebih tinggi darinya itu. Rara ketakutan ,
dia gemetar. Laki-laki itu diam. “Siapa kamu kamu siapa? Penculik, penjahat?”
Rara menodongnya dengan menghadapkan senter ke wajah laki-laki itu. “Hey
hentikan! Aku gak bisa liat. jauhkan senter itu dari wajahku.” Laki-laki itu
terlihat menghalau pancaran sinar senter milik Rara. “Jawab dulu kamu siapa!”
Rara masih menghadapkan senter itu ke laki-laki berjaket hitam. “Oke.Oke, namaku
Akbar.” Jawab laki-laki itu dan segera memegang lengan Rara berusaha menjauhkan
senter itu dari wajahnya. “Maaf, aku memegang lenganmu tanpa permisi, aku tau
ini lancang.” Jawab Akbar. Rara menunduk pelan dan berkata lirih, “Maaf juga
kak, tadi aku senterin muka kakak lama.” “Sudah tak apa. Namanya juga orang
ketakutan.” Akbar tersenyum membuat otot-otot pipinya tertarik membentuk lesung
pipit. “yee, jelaslah aku takut disubuh2 kaya gini aku bertemu sama kakak-kakak
berjaket hitam. Digunung lagi.” “Oh ya? Apa mukaku terlihat menyeramkan?” Akbar
menunjuk wajahnya yang putih. “Tidak juga.” Pipi Rara memerah.
Rara melihat pemandangan disekitar
puncak yang dibatasi oleh pagar setinggi dada yang terbuat dari besi itu. Rara
mengeluarkan kamera kesayangannya. Diikuti Akbar. “Kamu kesini buat ambil
sunrise ya?” tanya Akbar sambil memutar-mutar lensa telenya mencari fokus. “Yap
begitulah kak, aku suka tempat ini, damai.” Rara asik mencari angle yang
terbaik untuk hasil fotonya. “Aku juga, sambil nunggu jam PKL mulai.” Akbar
mulai mencuri – curi foto wajah Rara yang berbalut kerudung blewah lebar. Rara
menoleh. Akbar terlihat gelagapan menyembunyikan kejahilannya itu. “Ye kakak
nih curi-curi foto” Rara merasa dipaparaziin. “Eh, enggak kok GR banget sih.
Aku kan mau ambil sudut yang itu tuh” Akbar menunjuk tebing yang terlihat
dibelakang Rara. “Coba sini aku lihat.” Rara tak percaya. “Eh jangan privasi
tauk.” Akbar menyembunyikan kameranya dipunggung. “Ih nyebelin.” Rara mengeluh
sebal sambil memanyunkan bibirnya .
Matahari muncul sedikit demi sedikit
dari cakrawala. Mereka berdua tak mau kehilangan momen yang paling berharga.
Sunrise hanya berdurasi sekitar 1-3 menit saja. Rara mengeluarkan tripodnya
secepat kilat dan mendudukkan kameranya diatasnya. Rasa kekaguman pun muncul
“Subhanallah, MasyaAllah indah benar ciptaan-Mu ya Allah, nikmat ini terus
mengalir kau masih memberiku kedua mata untuk menatap indahnya Matahari pagi.”
Rara bergumam sendiri. Dan gumamannya didengar oleh Akbar. “Itulah Tuhan kita ,
tuhan yang Maha Esa. . dia menciptakan segalanya dengan sangat sempurna,
subhanallah.” Akbar mengangkat kepalanya keatas menatap langit pagi, disambut
dengan kicauan burung-burung hutan yang meriah. Rara pun juga sangat menikmati
mentari pagi itu dihirupnya udara dingin yang membaur dengan kabut tipis itu
sambil menatap kearah langit yang membiru tanpa awan.
Pagi itu benar-benar menjadi
miliknya seketika. “Kau mau pulang? Tak mau lebih lama lagi?” tanya Akbar
mendekati Rara yang ada jauh disampingnya. “Iya, mau pulang nanti dicari sama
mama lagi. Hehe.” Rara tersenyum. Sambil merapikan tripodnya kedalam tas. Dia
sengaja mengalungkan kameranya untuk memotret jalan setapak yang sedikit licin
itu. “Dasar anak mama. Kalau boleh aku akan mengantarmu, pasti kamu kesini tadi
jalan kaki kan?” Akbar menawarkan. “Oh , gak usah-gak usah kak. Aku bisa jalan
sendiri,rumahku dekat kok.” Tolak Rara
halus sambil mengambil langkah kecil. “Rara.....” suara Akbar tercekat.
“Iya...kak?” Rara menoleh pelan kebelakang kerudung blewahnya terlihat tersapu
oleh angin pagi. “Em, , jangan panggil aku kak dong. Panggil aku Akbar aja.”
Akbar memasukkan tangannya kekantong celana trainingnya. “cuman itu?” Rara
terlihat bingung dengan gelagat seseorang yang dikenalnya beberapa menit yang
lalu. “Turun dulu deh, nanti aku mau bicara.” Akbar menyilahkan Rara untuk
turun lebih dulu.
Perjalan turun pun tak terasa
,terlalu mengasyikkan menuruni lereng gunung yang tampak rindang dan indah. Di
bawah pun bunga crysan nan cantik menyapa mereka berdua. “Kamu suka kesini ya?”
tanya Akbar yang berada disampinya. “Ya aku suka kesini, tapi jarang cuman pas
liburan aja. Kamu bukan orang sini kan?” selidik Rara. “Hehe, iya aku bukan
orang sini, aku anak kota sebelah yang lagi PKL disini.” Terang Akbar singkat.
“Udah kuliah berarti kak?” “Kok kakak lagi panggilnya. Aku masih kelas 11 tauk
.” Akbar menyenggol lengan Rara “Sama dong.” Rara memutar-mutar bola matanya.
“Nah makanya. Jangan panggil kakak” “Lalu PKL apa disini?” “Berhubung aku anak
pondok, aku ngajar ngaji anak-anak sini. Di Masjid Baiturrahman, semacam
pengabdian selama satu bulan.” Akbar yang tinggi dan berwajah indo-uzbek
membuat Rara mengaguminya. “Oh di masjid Baiturrahman, di bawah situ kan?
Gimana anak-anaknya seru gak?” tanya Rara yang dulu juga menjadi remaja masjid
Baiturrahman. “Aku suka sama anak kecil, ya seru-seru aja sih, udah aku anggap
adik sendiri, kan aku anak terakhir jadi gak punya adik hehehe.” Akbar melepas
jaket hitamnya dan tubuhnya terlihat atletis. “Jarang lo ada ikhwan yang suka
sama anak kecil. Kebanyakan sih suka jailin.” Rara menyatakan opininya sambil
membuyarkan lamunannya tentang Akbar. “Tapi aku Ikhwan yang suka sama anak
kecil kok, tenang aku gak jahil deh cius.” “Hahahaha” mereka berdua tertawa
bersama-sama.
‘Trit....trit...trit...’ alarm jam
tangan Rara berbunyi ketika sampai dibawah. “Alarm apa tuh Ra?” tanya Akbar
yang memandangnya sebentar. “Alarm sarapan. Hehe tepat jam tujuh.” Jelas Rara
cengar-cengir. “Suka lupa sarapan nih pasti. Makan yuk.” Ajak Akbar sambil
sesekali menatap Rara yang berwajah javanesse itu. “Kok tau?...” “Cuman nebak
ra. Hehe. Terus tawaranku? Deny or Allow?” “Mau sarapan dimana? Aku traktir ya
? kan kamu tamu disini.” Rara memeluk Camera hitamnya itu. “Loh gak enak nih
cewe yang traktir. Biar aku aja. Yuk.” Akbar menyambar lengan Rara dan mengajaknya
disebuah kedai kecil yang tampak berjejer dengan kedai penjual bunga segar di
bawah gunung. “Akbar....” Rara berkata pelan. “Iya ada apa ra?” Poni akbar
bergerak tersapu angin. “Tangan kamu.” Rara menunduk membuat kode. “Akbar
mengikuti gerak kepala Rara. “Astaghfirullah, maaf ra maaf ya , reflek.” “Apa
kamu slalu seperti ini kepada akhwat.” “Enggak ra, sungguh.” “Terus kenapa
dengan aku begitu?” Rara membalikkan ucapan Akbar. “Aku bener gak sengaja.”
Mendadak muka Akbar berubah mood. “Sudah , woles bar, jangan ulangin lagi ya.
Manusia emang tempat salah dan lupa kok. Tapi kalo lupa terus teman syaitan
tuh.hehehe.” Rara mencoba membuat suasana kembali adem seperti semula.
“Hehehe..Iya iya kecil.” Akbar mengusap ubun-ubun Rara. Mereka berdua sarapan
dengan lahapnya. Ibu pemilik kedaipun senang pembelinya menikmati masakan yang
dijualnya itu.
“Sudah kenyang kan?” Tanya Akbar .
“Alhamdulillah sudah, waktunya pulang.” “Syukron ukhti kecil sudah traktir.”
Akbar menjulukinya ukhti kecil , mungkin agar Akbar bisa mengingat Rara.
“Hehehe Afwan. Aku pulang dulu ya? Kamu cepat balik ke rumah pak RT nanti
dicariin lagi.” Rara mengingatkan Akbar.
“Iya kamu hati hati ya?” Akbar mewanti-wanti sesosok perempuan anggun
yang dikenalnya subuh tadi. “Iya, udah biasa kok bar.” Tutup Rara lalu
melanjutkan langkahnya panjang ke rumah “Ra...tunggu.” Akbar mencomot bunga Crysan
warna merah dan putih diKedai bunga tepat ia berdiri dan Akbar berlari menuju
Rara “Nanti sore ketemu disini ya?” Akbar menodong muka Rara dengan dua bunga
yang ada digenggamannya. “insyaAllah akbar.” Rara mengambil bunga kesukaannya
itu, lalu tersenyum dan menoleh ke arah Akbar yang sedang merapikan rambut
jabrix nya. Akbar menangkap senyum Rara, lega rasanya, itu berarti Rara
mengiyakan.
***
Sore setelah Akbar selesai
mengajar ngaji anak-anak desa, dia menuju tempat yang ia janjikan. Menunggu
Rara yang dari tadi ia harapkan. Mungkin hati Akbar tertaut dengan perempuan
itu. Semoga :)
Rara menepati janjinya. Dia berjalan
dari rumahnya menenteng kamera seperti biasa. Jeprat-Jepret sana sini yang
menurutnya mengurangi rasa bosan. Sambil sesekali menyapa bapak ataupun ibu
yang berada didepan rumah yang dilewatinya. “Mau kemana nduk?” tanya ibu Aprin
ibu RT desa disana. “Mau ketemu teman buk. hehe” Rara tersenyum takut
diinterogasi. “Teman-apa teman?” Tuh kan dugaan Rara tepat. “Ibu kenal kok.”
Rara menghampiri Bu Aprin, dengan sopan. “Loh siapa nduk?” Bu Aprin benar-benar
kepo persis seperti jiwa anak muda jaman sekarang. “Akbar bu.” Jawab Rara
malu-malu. “Oh Akbar, Akbar ganteng nduk, anaknya baik suka bantu-bantu ibu
suka ngajar ngaji, persis sama kayak kamu, kayaknya cocok deh nduk sama kamu.”
Bu Aprin membenarkan jubahnya dan menggoda Rara jail. “Ah ibu ini, cocok
gimana? Kan baru kenal.” “Loh justru baru kenal itu nduk bisa datang
benih-benih cinta yang hakiki.” Benar, Bu Aprin jago bermajas. “Bu aprin aku
malu.” Rara menunduk pipinya memerah. “Sudah cepat temui pangeranmu. Jangan
lupa bilang nanti ada jamuan makan malam perpisahan sama Akbar ya nduk.?” Pesan
bu Aprin. “Iya ibu Insya Allah. Mari bu” Rara meninggalkan bu Aprin dengan
seberkas senyum manisnya.
Akbar duduk-duduk di atas ranting
pohon yang kuat. Setelah dia melihat Rara berjalan menuju kearahnya Akbar
langsung melompat cepat. ‘Brukk......’
“Innalillahi akbar.” Rara mempercepat jalannya ke arah Akbar. “Auch....”
kaki Akbar terkilir, lengannya pun lecet. “Makanya jangan pecicilan, bar. Sakit
kan kalau jatuh nah kan jadi berdarah lenganmu.” Rara khawatir melihat ekspresi
kesakitan Akbar. “ssakitt ra.” Akbar memegangi kakinya sambil meringgis.
“Bentar tunggu sini dulu aku beli obat merah sama pembalut luka. Diam disini.”
Rara panik dan berlari menuju toko kecil terdekat.
3 menit kemudian Rara kembali
membawa obat untuk Akbar. Akbar terlihat meringis agak lega setelah lengannya
di beri obat merah oleh Rara. “Ra..makasih ya? Kamu panik banget sih, wajah
kamu lucu.” Akbar mengenakkan posisi rebahannya. “Akbar udah jangan gombal. Mau
sembuh gak?” Rara paling sebal dengar gombalan dari cowo. “Maaf maaf ra, aku
bercanda kok.” Rara tak menghiraukan, dia merekatkan pembalut luka kelengan
Akbar dan meluruskan kaki Akbar memeriksa kondisi kaki Akbar. Seperti jiwa
seorang tim SAR yang tanggap. “Rara marah ya? Kok diem.” Akbar mengagumi
ke-care-an Rara terhadapnya. Ya bukan kepada Akbar aja Rara seperti ini. Rara
memang selalu tanggap dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Setelah
memijit kaki Akbar yang keseleo. “Uda mendingan belum?” Rara menatap Akbar, dia
punya fikiran jahil. “Bar, hadap sini dong.” Rara mencari angle yang pas. Akbar
menoleh. “Ckrrt” lensa kamera Rara mengabadikan ekspresi Akbar yang sok imut.
“Eh siniin kameranya.” Akbar mencoba meraih kamera yang ada digenggaman Rara.
“Gak boleh. Hey apa kau.” Rara menepuk lengan Akbar. “Auch......” Akbar
menjerit . “Akbar , sori, lupa.” “ckkrt” lagi lagi Rara mengabadikan ekspresi
jelek Akbar menahan rasa sakit.
“Oh iya bar, tadi aku dapet pesan
dari bu Aprin suruh bilang ke kamu, nanti malam ada jamuan makan malam
perpisahan.” Rara menggoyang2kan kakinya. “Oh iya hampir lupa, makasih uda
ingetin aku ya.” “He.em” jawab Rara singkat. Seketika hening. Yakh...Akbar mau balik ke kotanya. Hati
Rara gelisah tak menentu.
“Ra, besok aku balik ke kota
besar, aku pengen ketemu kamu sekali lagi aja besok pagi ya.” Senja mulai
tampak. Rara memutar lensanya menangkap Sunset sore itu. Secepat itukah dia
kembali , fikir Rara dalam hati. “Ra, aku gak akan pernah lupain kamu, dan
segala kebaikan kamu hari ini.” Rara masih sibuk dengan kameranya tapi
sebenarnya Rara mendengarkan apa yang diucapkan Akbar. “Ra, andai aku bisa
menghentikan waktu, akan kuhentikan waktu . Agar aku dan kamu bisa lebih lama
disini, menikmati senja dan segala hal yang membuatmu tersenyum.” Akbar menatap
senja berharap senja berpihak padanya. “Akbar, apa maksudmu?” “Aku ingin kamu
slalu ada bersamaku,, disampingku.” Akbar menatap mata Rara berwarna emas kecoklatan
itu. Hati Rara bergemuruh bak ombak dilaut lepas begitu kencang. “Akbar,
sungguh aku tak mengerti apa yang kau katakan?” “Ana Uhibbuka fillah ya Ukhti.”
Akbar mantap. “Secepat itukah cinta yang kau rasa ya akhi?” Rara belum yakin.
“Ya, rasanya hari ini adalah ta’aruf meski tak ada murrobi’ yang mempertemukan.
Besok aku akan pulang dari sini, melanjutkan tholabul ilmi dan mengabdi
dipondok, setelah selesai aku akan kembali disini.” Akbar memandang langit
senja yang sedikit surup setengah jam menuju maghrib. “Untuk apa Akbar
kembali?” Rara polos. Kerudung cokelat yang menjaganya terlihat tersapu angin
beberapa kali. “Untuk menjemputmu ukhti.
Menjemputmu menjadi pelengkap separuh imanku.” Mendengar kata-kata Akbar, peluh
nya membasahi pipi yang tampak lesung pipitnya.
“Kenapa kau menangis.” Rasanya
Akbar ingin menyeka air mata gadis manis itu. Rara terdiam. “Kau menangis
gara-gara aku?” “Akbar, apa kamu benar-benar mencintaiku?” “Apa yang membuatmu
ragu terhadapku ra, sungguh aku mencintaimu. Jika kau mau menungguku , aku akan
menjaga hati untukmu Ra.” Rara menunduk bimbang dengan perasaannya. Tapi ia
terlalu muda memikirkan masa depan. Sebenarnya dia mencitai Akbar juga , tapi
ia takut membuat Akbar banyak berharap kepadanya. “Rara, aku berjanji padamu
aku akan kembali, kita tholabul ilmi dulu sehabis itu aku akan datang menepati
janjiku yang aku buat hari ini. Pasti kamu bingung bagaimana menjawab ajakanku,
aku tau itu. Dan aku mohon percayalah padaku.” “aku.....percaya padamu akbar.”
Ya
Allah ini terlalu singkat, bagaimana bisa Akbar mencintaiku dengan waktu
sesingkat ini, dan juga perasaanku. Aku tahu Engkau slalu punya rencana
terindah dibalik ini, Aku akan menjaga izzah ku sebagai seorang wanita sebelum
aku dimiliki olehnya, jagalah aku ya Tuhan, jangan sampai aku jauh dan bnyak
melanggar perintah dan laranganmu.
***
5 tahun kemudian
Rara sekarang menjadi seorang
dokter gigi sekaligus aktivis dakwah di Jepang, hari ini dia pulang. Akbar
juga, dia mendirikan sebuah pondok Pesantren , hari ini dia baru datang dari
Mesir dan dia tak lupa akan janjinya. Menjemput bidadari impiannya, Rara.
Akbar menghubungi Rara melalui
skype, bahwa dia akan segera datang melamarnya. Rara sungguh terkejut, secepat
itu yang ia rasa, penantiannya pun tak sia2 istikharah pun slalu menjawab bahwa
Akbar yang telah ditunjuk Allah sebagai pendamping hidupnya kelak.
Esok hari Akbar datang bersama
kedua orang tua serta kakak-kakaknya, melamar Rara. Orang tua Rara menyetujui
nya. Rara hanya menyimpulkan senyuman dan sesekali mengeluarkan guyonan kecil
khasnya. Begitu melihat Rara orang tua Akbar merasa sangat senang, “Akbar,
pilihanmu cocok, mama setuju.” Bisik Mama Akbar. “Papamu juga nak, terlihat
sopan dan anggun.” Papa Akbar ikut berbisik. “InsyaAllah ma, pa , do’akan Rara yang ter-baik buat saya.” Mama
Akbar memeluk anak sulungnya itu.
Akad nikah pun dimulai, dan ini
dilaksanakan dengan sederhana. Semuanya berjalan dengan lancar hingga proses
akad selesai. Kini Rara dan Akbar sudah sah menjadi sepasang suami istri. Akbar
mencium kening Istrinya itu untuk pertama kali. Esok hari pun akan dilaksanakan
pesta pernikahan dengan dekorasi Mesir-Jepang.
“Akhirnya nduk, bener kan kata
ibuk, kamu sama Akbar berjodoh, cocok. Long last ya . aamiin” Bu Aprin teringat
kata-kata yang menyentil itu 5 tahun silam. “hehehe ibuk, ibuk terimakasih
sudah datang, aamiin. Ini berkat bu Aprin juga” Rara memeluk bu Aprin erat. . .
Rara sekarang halal memandang wajah tampan Akbar. Begitu juga akbar. Akhirnya
pertemuan subuh itu berakhir pada titik terindah diantara keduanya ...
***
***
Bismillahir-Rahmanir-Rahiim
..
Senyuman terukir indah
Menghiasi wajah indah nan bercahaya
Merah pipi menambah seri
Pesonanya mengobati luka di hati
Getar suara dalam canda tawa
Mengalun indah menggetarkan suasana
Penuh ceria dan bahagia
Menemani hari hari dalam nuansa indah
Berbagi dalam bahagia
Sedih dan duka lara tersimpan rapi dikedalaman hati kita
Menunggu saat indah tuk dapat diutarakan
Dengan tutur penuh hikmah dalam tiap tiap perkataan
Pesan-pesan penuh hikmah
Mengiringi langkah-langkah dalam perjuangan
Bersama kesabaran menemani segala rintangan
Berharap akan sebuah keridhoan
Cinta kasih terukir indah menghiasi
Tiada duka tiada derita karena dia ada di sisi
Dikaulah idaman dan pujaan
Kini Kerinduan selalu hadir menantikan
Berharap pertemuan segera diwujudkan
Hati yang terbelah kembali disatukan
Bersama kasih-Nya dan ridho-Nya
Dikaulah Insan yang terlahirkan
Dari rahim kemuliaan
Hidupmu tuk sebuah kesetiaan
Pengabdianmu tuk sebuah kebahagiaan
Citamu hanya satu tujuan
Berharap dapat menemani hingga hari yang dijanjikan
Ku ingin Menjadi bidadari dalam keabadianmu ..
Bertahta syurga untuk tetap mencintaimu ..
Duhai kanda dalam Hatiku ...
InsyaAllah ..aamiin
Senyuman terukir indah
Menghiasi wajah indah nan bercahaya
Merah pipi menambah seri
Pesonanya mengobati luka di hati
Getar suara dalam canda tawa
Mengalun indah menggetarkan suasana
Penuh ceria dan bahagia
Menemani hari hari dalam nuansa indah
Berbagi dalam bahagia
Sedih dan duka lara tersimpan rapi dikedalaman hati kita
Menunggu saat indah tuk dapat diutarakan
Dengan tutur penuh hikmah dalam tiap tiap perkataan
Pesan-pesan penuh hikmah
Mengiringi langkah-langkah dalam perjuangan
Bersama kesabaran menemani segala rintangan
Berharap akan sebuah keridhoan
Cinta kasih terukir indah menghiasi
Tiada duka tiada derita karena dia ada di sisi
Dikaulah idaman dan pujaan
Kini Kerinduan selalu hadir menantikan
Berharap pertemuan segera diwujudkan
Hati yang terbelah kembali disatukan
Bersama kasih-Nya dan ridho-Nya
Dikaulah Insan yang terlahirkan
Dari rahim kemuliaan
Hidupmu tuk sebuah kesetiaan
Pengabdianmu tuk sebuah kebahagiaan
Citamu hanya satu tujuan
Berharap dapat menemani hingga hari yang dijanjikan
Ku ingin Menjadi bidadari dalam keabadianmu ..
Bertahta syurga untuk tetap mencintaimu ..
Duhai kanda dalam Hatiku ...
InsyaAllah ..aamiin
RARA
SELESAI .
hope u enjoy guys ! ^^
Komentar
Posting Komentar